Bangunrejo, Lampung Tengah. —Niat mulia untuk melestarikan seni budaya tradisional justru ternoda oleh dugaan praktik nepotisme dan ketidakadilan dalam Pentas Seni Budaya Kuda Lumping yang digelar oleh salah satu komunitas seni yang di selenggarakan di Kampung Sri Pendowo, Kecamatan Bangunrejo, Kabupaten Lampung Tengah, pada 16-19 Mei 2025.
Sejumlah peserta dan pengurus kelompok kuda lumping yang ikut dalam lomba, menuding panitia dan dewan juri tidak transparan dalam penilaian, bahkan diduga memanipulasi hasil demi kepentingan kelompok tertentu.
Ketidaksesuaian Nilai dan Keputusan Juri
Salah satu kelompok kuda kepang dari Kecamatan Bangunrejo mengaku dirugikan setelah hasil akhir lomba tidak sesuai dengan penilaian juri. Menurut catatan mereka, kelompok tersebut seharusnya meraih peringkat ketiga berdasarkan akumulasi nilai, namun dalam pengumuman resmi panitia, posisi tersebut justru diduduki oleh peserta lain yang nilainya lebih rendah.
“Kami sudah membandingkan hasil penilaian juri dengan pengumuman panitia. Jelas ada ketidaksesuaian. Ini bukan sekadar masalah juara, tapi prinsip keadilan yang dilanggar,” ujar salah satu perwakilan kelompok yang enggan disebutkan namanya.
Protes Peserta Ditolak, Juri Cuci Tangan
Ketika peserta yang merasa dirugikan mengajukan protes, respons dari dewan juri justru memperkeruh situasi. Salah seorang juri dengan tegas menyatakan bahwa keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan panitia.
“Kami juga sudah coba protes, tapi juri bilang, ‘Kami hanya menilai. Panitia yang punya semua hak. Juri cuma kerja.’ Ini sangat mengecewakan,” ungkap seorang peserta.
Lebih mengejutkan lagi, salah satu juri lainnya secara terbuka mengakui bahwa hasil penilaian mereka tidak diindahkan oleh panitia. “Sebenarnya juri jujur apa adanya. Setelah disetorkan ke panitia, ternyata diolah. Saya juga kecewa datang ke sini. Kalau tahu modelnya kayak gini, saya nggak mau jadi juri,” ujarnya dengan nada kesal.
Juri tersebut bahkan meminta peserta mendokumentasikan bukti penilaian asli untuk membandingkannya dengan hasil akhir. “Hasilnya suruh difoto biar tahu. Jadi, saya di sini nggak ada gunanya. Semua sudah ditanggung jawab panitia,” tambahnya.
Kecurangan Sistematis atau Human Error?
Beberapa peserta menduga ada upaya sistematis dari panitia untuk mengubah hasil demi kepentingan kelompok tertentu. Salah satu juri yang frustrasi menyindir, “Kue anak buahmu tak kon moto hasil juri, kon delok en, di balik nama Neng panitia.” (“Itu anak buahmu tak suruh foto hasil juri, tak suruh lihat. Semua diputar balik oleh panitia.”)
Pernyataan ini semakin menguatkan kecurigaan bahwa panitia sengaja mengintervensi keputusan juri. “Kalau memang ada perubahan, harusnya ada klarifikasi, bukan langsung diumumkan seenaknya. Ini merusak semangat perlombaan,” protes salah satu seniman yang ikut lomba.
Ancaman terhadap Semangat Pelestarian Budaya
Lomba seni budaya seharusnya menjadi wadah apresiasi dan pelestarian tradisi, bukan ajang kecurangan dan nepotisme. Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan mematikan semangat komunitas seni dalam berkarya.
“Kalau tujuannya cuma mencari juara dengan cara curang, apa bedanya dengan pertandingan politik? Seni budaya harusnya menyatukan, bukan memecah belah,” tegas seorang pegiat budaya setempat.
Tuntutan Keadilan dan Transparansi
Para peserta yang dirugikan mendesak panitia untuk menghitung kembali hasil penilaian asli dan mempertanggungjawabkan keputusan akhir. Mereka juga meminta agar kejadian serupa tidak terulang di event-event mendatang.
“Kami tidak mau budaya kita dikotori oleh kepentingan sesaat. Kalau perlu, pihak berwenang seperti Disparbud Lampung Tengah harus turun tangan mengawasi,” tandas salah satu perwakilan kelompok seni.
Sampai berita ini diturunkan, panitia penyelenggara belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan kecurangan tersebut. Namun, insiden ini telah menyisakan luka bagi para pelaku seni yang selama ini gigih menjaga kelestarian kuda lumping sebagai warisan budaya.
#BudayaBukanNepotisme
(Team)