Lima Tahun Tanpa Kompensasi: Warga Cibinong Terlantar, PT. IPP Dinilai Ingkar Janji

KAB.BOGOR —Sutisna (54) menatap retak-retak di dinding serta plafon rumahnya dengan perasaan getir. Sudah lima tahun berlalu sejak PT. Sinar Kencana Teknik Mandiri (SKTM) berganti ke Management baru PT. Inti Persada Prima (IPP) menghentikan pembayaran kompensasi kerusakan rumah yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan.

Kini, warga Jalan Raya Cikaret Gang Damai ini harus menanggung beban ganda: rumah yang terus rusak akibat aktivitas pabrik pembuatan tabung gas dan kehilangan sumber penghasilan setelah diberhentikan sebagai karyawan.

Kini Sutisna hanya mengandalkan penghasilan dari petugas parkir untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Janji Manis yang Berubah Pahit

Perjanjian Kesepakatan Bersama yang ditandatangani pada 6 April 2015 seharusnya menjadi jaminan bagi Sutisna dan keluarga untuk mendapat kompensasi Rp.2,5 juta per bulan yang dibayarkan setiap tanggal 10 setiap bulannya.

Namun, ketika manajemen perusahaan berganti dari PT. Sinar Kencana Teknik Mandiri (SKTM) menjadi PT. Inti Persada Prima pada Oktober 2020, pembayaran kompensasi untuk dua kepala keluarga pemilik rumah pribadi tiba-tiba dihentikan sepihak.

Yang lebih menyakitkan, Sutisna yang sebelumnya bekerja sebagai security di PT. SKTM juga diberhentikan pada 1 Oktober 2020 melalui pesan WhatsApp oleh HRD Niki Yanuar.

Pemutusan hubungan kerja via aplikasi pesan ini menunjukkan betapa tidak profesionalnya manajemen baru dalam menangani masalah ketenagakerjaan.

Ketimpangan yang Mencolok

Fakta mengejutkan terungkap dalam investigasi tim media : sementara kompensasi untuk warga pemilik rumah dihentikan total, namun pembayaran untuk pihak RT justru masih berlanjut hingga kini dengan nominal Rp 1 juta per bulan serta Pak RT dilterima bekerja di PT. IPP sebagai Security.

Ketimpangan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang dasar pengambilan keputusan manajemen PT. IPP tersebut.

Dari 10 Kepala Keluarga yang semula terdampak, 8 KK penghuni kontrakan sudah tidak lagi mendapat kompensasi setelah lokasi mereka dibeli pabrik dan direktur sebagai karyawan diperusahaan pembuat tabung gas tersebut.

Sementara 2 KK pemilik rumah pribadi berdasarkan Sertifikat Hak Milik justru “diputus” kompensasinya Rp.5 Juta sebulan secara sepihak.

Perusahaan Beroperasi, Tanggung Jawab Menghilang

Ironi terbesar dari kasus ini adalah PT. SKTM kini berganti management menjadi PT. IPP dan tetap memproduksi tabung gas beroperasi 24 jam sehari, bahkan tanpa menampakkan identitas perusahaan secara jelas.

Tim investigasi menemukan fakta bahwa di lokasi pabrik tidak terpasang plang nama perusahaan, melainkan hanya tulisan “DIJUAL TANAH DAN BANGUNAN (SHM)” dengan nomor telepon kontak.

Kondisi ini menimbulkan kecurigaan: “Apakah perusahaan sedang bersiap “kabur” dari tanggung jawabnya, ataukah ini strategi untuk menghindari identifikasi publik?

Firma Kasihhati Law Firm Turun Tangan, Pemerintah Dimana?

Fonder Kasihhati Law Firm Adv. Lilik Adi Gunawan,SH., yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar Presidium Forum Pers Independet Indonesia (FPII) memberikan secercah harapan dengan menyatakan siap memberikan bantuan hukum gratis kepada warga terdampak.

“Kami akan memberikan pendampingan hukum secara gratis kepada warga masyarakat sekitar PT. IPP yang rusak rumahnya serta sudah tidak lagi mendapatkan kompensasi semenjak tahun 2020,” tegas Adv. Lilik Adi Gunawan,S.H., saat diwawancara awak media pada Kamis, (31/7/2025) di Sekertariat Bersama Setwil Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Jawa Barat.

“Kami berencana mengirim surat resmi kepada Gubernur Jawa Barat dan Bupati Bogor terkait operasional perusahaan yang patut dipertanyakan izin AMDALnya. Langkah ini seharusnya menjadi tugas pengawasan rutin pemerintah daerah, bukan inisiatif organisasi masyarakat sipil.” tegas Lilik.

Kecelakaan Kerja Tanpa Jaminan

Temuan mengejutkan lainnya adalah kondisi ketenagakerjaan yang memprihatinkan di PT. IPP. Penasehat Hukum 2 KK Masyarakat Warga Cibinong mengungkap bahwa ketika terjadi kecelakaan kerja seperti terpotong jari, pekerja tidak mendapat jaminan kesehatan resmi dan malah dipesan untuk tidak mengaku bahwa itu kecelakaan kerja saat berobat.

Praktik ini tidak hanya melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan, tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian total perusahaan terhadap keselamatan dan kesejahteraan karyawan.

Pertanyaan yang Menggantung

Kasus PT. IPP memunculkan sederet pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah daerah:

Mengapa perusahaan yang beroperasi 24 jam dapat menghentikan kompensasi secara sepihak?

Dimana peran Dinas Lingkungan Hidup dalam mengawasi dampak operasional pabrik?

Apakah Disnaker Kabupaten Bogor sudah memverifikasi legalitas seluruh tenaga kerja di PT. IPP?

Yang paling krusial: mengapa selama ini 5 tahun terakhir ada organisasi masyarakat sipil yang turun tangan memberikan pendampingan hukum namun tak ada kejelasan , sementara aparat pemerintah yang digaji rakyat justru tidak terlihat ? Lalu pada siapa rakyat kecil harus mengadu?.

Tanggung Jawab yang Tidak Bisa Diabaikan

Lima tahun penunggakan kompensasi bukan masalah sepele. Ini adalah persoalan keadilan, tanggung jawab korporasi, dan kredibilitas sistem hukum di negeri ini. Sutisna dan warga terdampak lainnya tidak seharusnya berjuang sendirian menghadapi korporasi yang mengingkari janji.

PT. Inti Persada Prima (IPP) harus membuktikan komitmen mereka sebagai perusahaan yang bertanggung jawab. Jika tidak, maka kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia usaha Indonesia: bahwa mengingkari janji kepada masyarakat adalah hal yang bisa dilakukan tanpa konsekuensi berarti.

2 KK Warga Cibinong terdampak PT.IPP sudah terlalu lama menunggu,Saatnya keadilan ditegakkan..!!! . (Tim/Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *